Artikel

Selamatkan Bumi Melalui Sastra

  • Di Publikasikan Pada: 19 Apr 2022
  • Oleh: Admin

Webinar virtual bertema Ekokritik Sastra Peduli Lingkungan yang diadakan oleh Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMSurabaya berlangsung via Zoom dan live streaming YouTube Harian Surya Tribun Jatim diisi oleh pemateri Prof. Novita Dewi, M.S.,M.A.(Hons),Ph.D. dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Sabtu (29/08/2020).

Diawali dengan pengenalan tokoh pejuang lingkungan. Pertama, Aleta Baun, Penerima Goldman Environmental Prize 2013 & Yap Thiam Hien Award 2016. Kedua, Rudi Putra Peneliti biologiAceh Goldman Environmental Prize 2014. Ketiga, Petrus Asuy Tokoh adat Dayak Benuaq Kalimantan Timur Penerima Equator Prize (UNDP) 2015. Keempat, Yosepha Alomang Tokoh perempuan Amungme Papua Goldman Environmental Prize 2001.

Novita memaparkan bahwa Indonesia memiliki laju deforestasi tertinggi di dunia. 15.000.000 hektar hutan hilang per tahun kalau dikonversi ibarat hutan seluas 36 lapangan sepak bola punah per menit akibat deforestasi. Bumi makin panas, setiap orang menyampah baik dari negara maju sekalipun. Amerika Serikat adalah penghasil limbah per kapita terbesar di dunia. Setiap warga rata-rata menyampah 808 kilogram/ tahun - hampir satu ton atau dua kali lipat lebih banyak dari penduduk Jepang. Bahkan beberapa sampah dibuang ke Indonesia, bukan?

Lahirnya ekokritik ini tak lepas dari peran beberapa tokoh seperti William Rueckert sebagai pencetak istilah perdana, dia pertama kali memakai istilah Ekokritik dalam esainya berjudul Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism (1978). Greg Garrad yang menggabungkan ekokritik dan sub/lintas disiplin ilmu, dan Cheryll Glotfelty pendiri ASLE (Association for the Study of Literature and Environment). Ketiga nama ini pasti muncul kalau ada yang mengadakan penelitian tentang ekokritik, terang Profesor dan Guru Besar Pascasarjana Sanata Dharma Jogja itu.

 Realita di Indonesia krisis ekologi makin mendera. Ada pertimbangan masalah sosial dapat diteropong lewat kajian sastra (dan budaya). Namun kendala yang ditemui adalah sastra hijau masih langka secara kurikuler. Menilik dari segi peluang bahwa hubungan antara sastra dan lingkungan mulai banyak dikaji. Diantara solusinya yaitu pembelajaran sastra hijau dapat berkontribusi kepada persoalan nyata dalam masyarakat. Hal ini dapat mencapai sasaran yaitu terdokumentasikannya kajian teoritis dan praksis sastra hijau untuk memperkaya studi sastra,kata Novita yang juga tertarik dengan masalah kemanusiaan seperti sosial gender, hermeneutika, resistensi perempuan, humanis, bullying.

Krisis lingkungan adalah krisis imajinasi. Teori ekokritik sendiri merupakan teori interdisipliner yang melihat hubungan antara sastra dengan lingkungan. Bagaimana sastra menggambarkan pengrusakan yang dialami lingkungan. Takaran ekologis dalam karya sastra Indonesia; Deskripsi untuk menjawab pertanyaan Bagaimana alam ditampilkan?, Perlakuan untuk menjawab pertanyaan Bagaimana alam diperlakukan?, Keberpihakan untuk menjawab pertanyaan Pro Alam atau Pro Manusia?, Transformasi untuk menjawab pertanyaan Adakah upaya penyelamatan?

Dalam webinar itu disertakan pula contoh ekokritik dalam salah satu karya sastra Tohari; Di depan ceruk tanah yang biasa menampung mata air itu, Kasdu berdiri bisu. Tak ada air barang setetes. Ceruk itu penuh dengan daun angsana kering. Pohon itu sendiri meranggas hampir gundul. Kasdu tak bisa berbuat lain kecuali menelan liur sendiri yang telah pekat dan meneruskan perjalanan yang masih jauh (Tohari 2015, hal. 13 dalam cerpen Si Minem Beranak Bayi)

Novita yang akhir-akhir ini lebih intens memperhatikan masalah lingkungan diantaranya eco education, ecocriticism, eco feminism menyampaikan bahwa dalam setiap agama pun memberikan perhatian dan perlakuan hormat dalam persoalan lingkungan. Bumi macam apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu yang sedang tumbuh? Apakah bumi yang gersang sementara kita sudah menikmati kekayaannya? tanyanya kemudian.

Ecci Ayu Pujaanti, mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Semester 3 mengungkapkan kesannya terhadap webinar yang dia ikuti dari rumahnya di Desa Dukuhmencek Kecamatan Sukorambi Kabupaten Jember ituSeminar ini sangat memberikan inspirasi karena dapat membuka pola pikir kita terhadap lingkungan yang dicerminkan dalam karya sastra. Mengikuti seminar ini dituntun bukan hanya memahami secara teori namun beserta praktik-praktik sederhana tentang hal yang harus dilakukan dalam menyelamatkan ekologi melalui sastra. (Kiki Cahya Muslimah)